1. Model Tyler
Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler.
Dalam buku Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler banyak
mengemukakan ide dan gagasannya tentang evaluasi. Salah satu bab dari buku
tersebut diberinya judul how can the the effectiveness of learning experience
be evaluated ? Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi
ditujukan kepada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan
pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran
dan sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). Dasar pemikiran yang
kedua ini menunjukkan bahwa seorang evaluator harus dapat menentukan perubahan
tingkah laku apa yang terjadi setelah peserta didik mengikuti pengalaman
belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan yang terjadi merupakan
perubahan yang disebabkan oleh pembelajaran.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan
tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran.
Istilah yang populer dikalangan guru adalah tes awal (pre-test) dan tes akhir
(post-test). Model ini mensyaratkan validitas informasi pada tes akhir. Untuk
menjamin validitas ini maka perlu adanya kontrol dengan menggunakan disain
eksperimen. Model Tyler disebut juga model black box karena model ini sangat
menekankan adanya tes awal dan tes akhir. Dengan demikian, apa yang terjadi
dalam proses tidak perlu diperhatikan. Dimensi proses ini dianggap sebagai
“kotak hitam” yang menyimpan segala macam teka-teki. Menurut Tyler, ada tiga
langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu :
a. Menentukan tujuan pembelajaran yang akan
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh
kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan
c. Menentukan alat evaluasi yang akan dipergunakan untuk
mengukur tingkah laku peserta.
2. Model Evaluasi Sumatif dan Formatif
Model evaluasi formatif-sumatif adalah model evaluasi yang dibuat oleh Scriven (1967).
Scriven mengemukakan bahwa: formative
evaluation is to classify evaluation that gathered information for the purpose of improving instruction as the
instruction was being given and sumative
evaluation is a method to judge the
worth of curriculum at the end of the syllabus
where the focus is on the outcome” Pernyataan
di atas, menjelaskan bahwa evaluasi formatif
adalah pengumpulan informasi dengan tujuan memperbaiki
pembelajaran yang telah diberikan, sedangkan
evaluasi sumatif adalah suatu metode pengambil
keputusan diakhir pembelajaran yang memfokuskan
pada hasil belajar. Adapun menurut istilah
kata form yang merupakan dasar dari
istilah formatif maka evaluasi formatif dimaksudkan
untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
terbentuk setelah mengikuti suatu program
tertentu. evaluasi atau tes formatif diberikan pada akhir setiap program pembelajaran.
Tes formatif sering disamakan dengan ulangan harian
(kuis) kegiatan yang dilakukan secara
periodik untuk mengukur pencapaian
kompetensi mahasiswa setelah
menyelesaikan satu atau lebih kompetensi yang
menjadi target ketercapaian program pembelajaran. Evaluasi atau tes sumatif dilaksanakan
setelah berakhirnya pemberian sekelompok
program atau sebuah program yang lebih besar. Tes sumatif dapat dilaksanakan dengan ujian akhir semester
(UAS). Tes dalam rangka pendidikan
digunakan untuk memperoleh bukti tentang
taraf keberhasilan proses belajar
mengajar. Evaluasi merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar. Tiap pelajaan yang diberikan hendaknya merupakan kebutuhan
yang mempunyai tujuan yang jelas,
bahan pelajarannya, proses belajar
mengajar, maupun evaluasinya (Lodang
& Bara, 122:2012). Lebih lanjut, evaluasi pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif
bertujuan untuk memperbaiki proses
pembelajaran. Sedangkan evaluasi sumatif
bertujuan untuk menetapkan tingkat keberhasilan
peserta didik.
3. Penilaian Acuan Normatif dan Acuan Patokan
A. Penilaian acuan norma (PAN) merupakan pendekatan klasik,
karena tampilan pencapaian hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan
dengan penampilan siswa lain yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini
digunakan sebagai metode pengukuran yang menggunakan prinsip belajar
kompetitif. Menurut prinsip pengukuran norma, tes baku pencapaian
diadministrasi dan penampilan baku normative dikalkulasi untuk kelompok-kelompok
pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama
dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan.
Guru kelas kemudian mengikuti asas yang sama, mengukur pencapaian hasil belajar
siswa, dengan tepat membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama.
Seperti evaluasi empiris, guru melakukan pengukuran, mengadministrasi tes,
menghitung skor, merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah,
menentukan skor rerata menentukan simpang baku dan variannya .
Berikut ini beberapa ciri dari Penilaian Acuan Normatif :
a. Penilaian Acuan Normatif digunakan untuk menentukan status
setiap peserta didik terhadap kemampuan peserta didik lainnya. Artinya,
Penilaian Acuan Normatif digunakan apabila kita ingin mengetahui kemampuan
peserta didik di dalam komunitasnya seperti di kelas, sekolah, dan lain
sebagainya.
b. Penilaian Acuan Normatif menggunakan kriteria yang bersifat
“relative”. Artinya, selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi dan atau
kebutuhan pada waktu tersebut.
c. Nilai hasil dari Penilaian Acuan Normatif tidak mencerminkan
tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan,
tetapi hanya menunjuk kedudukan peserta didik (peringkatnya) dalam komunitasnya
(kelompoknya).
d. Penilaian Acuan Normatif memiliki kecendrungan untuk
menggunakan rentangan tingkat penguasaan seseorang terhadap kelompoknya, mulai
dari yang sangat istimewa sampai dengan yang mengalami kesulitan yang serius.
e. Penilaian Acuan Normatif memberikan skor yang menggambarkan
penguasaan kelompok.
B. Penilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga
criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda.
Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan
terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang
lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan
materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung
tujuan instruksional .
Dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah
dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa
terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa
yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap peserta didik
(siswa) mendapat manfaat dari adanya PAP.
Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test).
Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas
proses pembelajaran.Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu
sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara
pandang yang harus diterapkan.
PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat
siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai
kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas
(mastery learning).
4. Model Countenance
Model countenance
adalah salah satu model evaluasi yang memiliki komponen hasil. Evaluasi hasil
didasarkan pada kategori hasil belajar. kategori hasil belajar yang umumnya
digunakan adalah hasil kerja Benjamin Bloom dan kawan-kawannya yang dikenal
dengan nama taxonomy Bloom. Yakni hasil belajar terbagi atas kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Penerapan evaluasi
model countenance dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
Kategori pertama
dari matriks deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang
program. Program adalah silabus atau rencana program pengajaran (RPP) yang
dikembangkan oleh guru. Seorang guru sebagai pengembang program merencanakan
keadaan (persyaratan)yang diinginkannya untuk suatu kegiatan di kelas tertentu.
Baik persyaratan tersebut berhubungan dengan peserta didiknya seperti minat,
kemampuan, pengalamannya, dan lain sebagainya yang biasa diistilahkan dengan
entry behaviors, ataupun persyaratan yang berhubungan dengan lingkungan di kelas,
yang kesemuanya dapat dicantumkan dalam antecedent yang direncanakan. Lebih
lanjut, guru tersebut merencanakan apa yang diperkirakan akan terjadi pada
waktu interaksi di kelas, dan kemampuan apa yang diharapkan dimiliki peserta
didik setelah proses interaksi berlangsung.
Kategori kedua
dari matriks deskripsi, dinamakan observasi. Yakni berhubungan dengan apa yang sesungguhnya
terjadi sebagai implementasi dari rencana di kategori pertama. Pada kategori
ini evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecedent,
transaksi dan hasil. Oleh karena itu evaluator harus memahami apa yang
direncanakan sebelumnya, menentukan data yang diperlukan dan mengembangkan prosedur
atau alat untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Sedangkan matriks
pertimbangan terdiri atas kategori standard dan pertimbangan yang tetap fokus
pada antecedent, transaksi dan hasil. Standar adalah kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu program yang dijadikan evaluan. Dalam hal ini adalah
kriteria yang harus dipenuhi oleh proses belajar, evaluator dapat mengambil
standar yang telah ditentukan oleh sekolah.
5. Model Bebas Tujuan
Model evaluasi
bebas tujuan (Goal Free Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven
(1973). Evaluasi ini merupakan evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai
pengaruh yang sesungguhnya, objektif yang ingin dicapai oleh program. Ia
mengemukakan bahwa evaluasi seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum
melakukan evaluasi. Evaluator melakukan evaluasi untuk mengetahui pengaruh yang
sesungguhnya dari operasi program. Pengaruh programyang sesungguhnya mungkin
berbeda atau lebih banyak atau lebih luas dari tujuan yang dinyatakan dalam
program. Seorang evaluator yang mengetahui tujuan program sebelum melakukan
evaluasi terkooptasi oleh tujuan dan akan tidak memerhatikan pengaruh program
di luar tujuan tersebut.
Suatu program dapat
mempunyai tiga jenis pengaruh
a. Pengaruh sampingan yang negatif. Yaitu
pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki oleh program. Ini seperti jika orang
meminum obat yang sering mempunyai efek sampingan yang tidak dikehendaki.
Misalnya, program-program untuk orang miskin di samping membantu kehidupan
orang miskin juga dapat membuat malas penerima layanan program menjadi malas
bekerja
b. Pengaruh positif yang ditetapkan oleh
tujuan program
c. Pengaruh sampingan positif. Yaitu
pengaruh positif program di luar pengaruh positif yang ditentukan boleh tujuan
program.
Jika evaluator
akan melaksanakan Goal Free Evaluation Model perlu didefinisikan ketiga
pengaruh tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena evaluasi dilakukan denga
tujuan yang definitif tidak terbuka atau open ended sehingga melebar dan tidak
terkontrol. Ini harus dilakukan juga dalam kaitan beban kerja evaluator dan
untuk menghitung perkiraan sumber-sumber (biaya, waktu, alat) yang diperlukan
untuk melakukan evaluasi.
Proses evaluasi
dengan mempergunakan Model Evaluasi Bebas Tujuan adalah:
a) Evaluator mempelajari cetak biru program
b) Mengidentifikasi tujuan evaluasi
c) Mengembangkan desain dan instrumen
evaluasi
d) Memastikan pelaksanaan telah mencapai
tujuannya
e) Menjaring dan menganalisi data
f) Menyusun laporan evaluasi hasil evaluasi
g) Pemanfaatan hasil evaluasi
6. Model CIPP
Model evaluasi
CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini
dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan
model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel
Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada
awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education
Act). CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation : evaluasi terhadap
konteks, input evaluation : evaluasi terhadap masukan, process evaluation :
evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil.
Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.
Model CIPP
berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach
structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan
guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 : 118) dalam Eko
Putro Widoyoko mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view
that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.”
Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan
penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.
Berikut ini akan
di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input,
process, product.
1. Context
Evaluation (Evaluasi Konteks)
Stufflebeam (1983
: 128) dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah
untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimilki evaluan. Dengan mengetahui
kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan yang
diperlukan. Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin menjelaskan bahwa, evaluasi
konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang
tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam
hal ini suharsimi memberikan contoh evaluasi program makanan tambahan anak
sekolah (PMTAS) dalam pengajuan pertanyaan evaluasi sebagai berikut :
a) Kebutuhan apa
saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang
belum menerima ?
b) Tujuan
pengembngan apakah yang belum tercapai oleh program, misalnya peningkatan
kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan tambahan ?
c) Tujuan
pengembangan apakah yang dapat membantu mnegembangkan masyarakat, misalnya
kesadaran orang tua untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anaknya ?
d) Tujuan-tujuan
manakah yang paling mudah dicapai, misalnya pemerataan makanan, ketepatan
penyediaan makanan ?
2. Input
Evaluation (Evaluasi Masukan)
Tahap kedu dari
model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Eko Putro
Widoyoko, evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan
sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi
untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen
evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan
pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang
diperlukan. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan pada tahap
evaluasi masukan ini adalah :
a) Apakah makanan
yang diberikan kepada siswa berdampak jelas pada perkembangan siswa ?
b) Berapa orang
siswa yang menerima dengan senang hati atas makanan tambahan itu ?
c) Bagaimana reaksi
siswa terhadap pelajaran setelah menerima makanan tambahan ?
d) Seberapa
tinggi kenaikan nilai siswa setelah menerima makanan tambahan ?
Menurut
Stufflebeam sebagaimana yang dikutip Suharsimi Arikunto, mengungkapkan bahwa
pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan masalah yang
mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.
3. Process
Evaluation (Evaluasi Proses)
Worthen &
Sanders (1981 : 137) dalam Eko Putro Widoyoko menjelaskan bahwa, evaluasi
proses menekankan pada tiga tujuan : “ 1) do detect or predict in procedural
design or its implementation during implementation stage, 2) to provide
information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the
procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau
memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap
implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman
atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data
penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan
program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana
rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan
menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada
“apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan
selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan
yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh
Stufflebeam diusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk proses sebagai berikut :
a) Apakah
pelaksanaan program sesuai dengan jadwal ?
b) Apakah staf
yang terlibat didalam pelaksanaan program akan sanggung menangani kegiatan
selama program berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan ?
c) Apakah sarana
dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal ?
d)
Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan
jika program dilanjutkan ?
4. Product Evaluation
(Evaluasi Produk/Hasil)
Sax (1980 : 598)
dalam Eko Putro Widoyoko memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah “
to allow to project director (or techer) to make decision of program “. Dari
evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk
membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi
program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (2000 : 14) dalam Eko Putro
Widoyoko menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan
selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan
setelah program itu berjalan.
Dari pendapat
diatas maka dapat ditarik kesimpuan bahwa, evaluasi produk merupakan penilaian
yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program
dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi
inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada
evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau
bahkan dihentikan. Pada tahap evaluasi ini diajukan pertanyaan evaluasi sebagai
berikut :
a) Apakah
tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai ?
b)
Pernyataan-pernyataan apakah yang mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian
proses dengan pencapaian tujuan ?
c) Dalam hal
apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat dipenuhi selama proses pemberian
makanan tambahan (misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran makanan, dan
ketepatan waktu pemberian) ?
d) Apakah dampak
yang diperoleh siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan
tambahan ini ?
7. Model Connoissaeurship/Model Ahli
Model evaluasi
kurikulum ini dikembangkan oleh Elliot W.Eisner dan kemudian dinamakan model
evaluasi connoisseurship. Elliot W. Eisner dilahirkan pada 1933 dan dibesarkan
di Chicago. Ia mendapatkan gelar Magister of Science bidang Art Education dari
Illinois Institut Technology dan Master of Arts bidang pendidikan seni dari
University of Chicago dan Ph.D dalam bidang pendidikan pada universitas yang
sama.
Ciri khas dari
model ini, sebagai model penelitian dengan pendekatan humanistik-naturalistik,
evaluan berpartisipasi langsung sebagai pengamat pada proses penelitiannya.
Evaluan secara seksama dan teliti menganalisa pola kerja siswa dan guru. Ciri
lainnya pada model ini adalah penggunaan teknologi sebagai media di dalam
penelitiannya seperti penggunaan film, videotape, kamera dan audiotape.
Walaupun model
ini belum memiliki struktur penelitian yang baku, akan tetapi model penelitian
ini memiliki tiga tahap: Tahap pertama disebut tahap deskriptif yaitu
mendeskripsikan seluruh pola pembelajaran dan aktivitas di dalam kelas, tahap
kedua yaitu interpretasi di mana evaluan mulai menginterpretasi dan mengkritisi
pada yang terjadi pada tahap pertama. Penjelasan pada tahapan ini akan
menimbulkan aksi, reaksi dan interaksi pada apa yang diamati dan tahap ketiga
adalah tahap evaluasi di mana pada tahap ini evaluan akan memberikan
pertimbangan dan keputusan dari program tersebut. Pertimbangan dan keputusan
yang dibuat oleh evaluan didasarkan kepada kritik yang dibuat oleh evaluan
sendiri berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pertama dan kedua.
DAFTAR PUSTAKA
https://nursholehahrafdiati.wordpress.com/2016/05/16/evaluasi-pembelajaran-penggunaan-model-evaluasi/
Lodang, Hamka & Bara, Nur Afni Suraya. 2012. Analisis kesesuaian antara instrumen evaluasi formatif dengan tujuan kognitif pembelajaran Biologi di SMP Watansoppeng. Jurnal Bionature, Volume 13, Nomor 2, Oktober.
Sukardi. E, dan Maramis. W. F. Penilaian Keberhasilan Belajar,Jakarta: Erlangga:University Press,1986.
S. Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: Remaja rosda karya, 2008
http://jelajahpemikir.blogspot.com/2016/04/model-evaluasi-bebas-tujuan.html
Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran : Prinsip, Teknik, dan Prosedur, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009